Jika di dalam fikih terdapat mazhab-mazhab yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita semua. Sebut saja seperti mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali.
Nah, di dalam ranah akidah atau yang biasa disebut dengan ilmu kalam, juga terdapat mazhab-mazhab yang satu sama lain juga terdapat perbedaan pemahaman dan pendapat. Mazhab-mazhab itu seperti mazhab Mu’tazilah, mazhab Syi’ah, mazhab Jabariyah, dan lain sebagainya. Tapi yang saat ini berkembang pesat dan paling banyak dianut di dunia adalah mazhab Asya’irah, termasuk pula di Indonesia.
Nah, Sahabat UNISIA sekalian, ada yang tau gak bagaimana sejarah mazhab Asya’irah?! Kalau belum tau, yuk simak pemaparan singkatnya di sini. Jadi tetap bersama Radio UNISIA yaaa…!
Asya’irah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari keturunan dari Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah.
Imam Al-Asy’ari lahir tahun 260 Hijriyah bertepatan tahun 873 Masehi. Beliau Imam Al-Asy’ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad.
Pada waktu kecil, ia berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus ampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. Namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu’tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy’ariah.
Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang, ia menyatakan bahwa, ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya, dan semua pendapat aliran Muktazilah lainnya. Kemudian ia mengatakan: “saya tidak lagi memegang pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahanya”.
Dia cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama’ah dan telah mengembangkan ajaran seperti sifat Allah Dua Puluh. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah Sang hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam.
Banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikiran Imam al-Asy’ari ini. Orang-orang yang mengikuti atau mendukung pendapat Imam al-Asy’ari ini dinamakan kaum atau pengikut “Asy’ariyyah.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak mengikuti paham imam ini, memadukannya dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama “Dua Puluh sifat Allah”, yang banyak diajarkan di pesantren-pesantren yang berbasiskan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Nahdhatul Ulama khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada umumnya.
Imam al-Asy’ari dalam perjalanan pemikirannya, sempat berpindah pemahaman tiga kali sepanjang hayatnya. Ibnu Katsir menyatakan dalam muqadimah Kitab Al-Ibanah, bahwa para ulama menyebutkan bahwa Imam al-Asy’ari memiliki tiga fase pemahaman: Pertama, mengikuti manhaj Mu’tazilah. Kemudian fase kedua, yaitu menetapkan sifat aqliyah yang tujuh: hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, serta menakwilkan sifat-sifat Allah yang khabariyah. Dan pada fase terakhir ia menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tanpa tasybih sebagaimana disebutkan dalam Al-Ibanah, kitab terakhir yang ditulisnya.
Mazhab Asy’ariyah berkembang pesat mulai abad ke-11 Masehi. Bersama menyebarnya Tasawuf atau sufisme, pemahaman ini juga mendapat dukungan oleh para penguasa di beberapa pemerintahan Islam. Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 Masehi, yang menyebabkan pemahaman ini dapat menyebar dari India, Pakistan, Afghanistan, hingga ke Indonesia.
Dinasti Seljuk pada abad 11-14 Masehi, yakni pada masa Khalifah Aip Arsalan beserta Perdana menterinya, Nizam al-Mulk sangat mendukung aliran Asy’ariyah. Sehingga pada masa itu, penyebaran paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat, utamanya melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.
Madrasah Nizamiyah ini pada mulanya hanya ada di kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Mulai dibangun pada tahun 457 Hijriyah atau 1065 M) dan selesai dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 459 Hijriyah. Pada masa itu, madrasah tersebut dicatat sebagai tempat pendidikan yang paling masyhur. Kemudian Nizam al-Mulk mengembangkan madrasah tersebut dengan membuka dan mendirikan madrasah serupa di berbagai kota, baik di wilayah barat maupun timur dari daerah kekuasaan Islam.
Di madrasah Nizamiyah inilah Imam al-Ghazali menuntut ilmu dan berguru kepada Imam al-Juwaini, atau yang dikenal dengan Imam Haramain. Imam Haramain ketika itu menjadi guru besar di madrasah itu. Dan setelah wafatnya Imam Haramain, Imam al-Ghazali pun sempat menjadi guru besar di Nizamiyah.
Akhirnya, pada tahun 324 Hijriyah atau 935 Masehi, Imam al-Asy’ari meninggal dunia. Beliau meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan ilmu. Namun kitabnya yang sangat terkenal ada tiga, yaitu: Maqalat al-Islamiyyin, Al-Ibanah ‘an Ushulid Diniyah, dan Al-Luma’.
Meski beliau sudah tiada, namun ajaran dan pemahamannya sampai saat ini masih dianut oleh banyak umat Muslim di dunia. Berkat rahmat Allah, ilmu beliau bisa bermanfaat bagi umat Islam. Semoga kita semua juga dapat menjadi orang yang ilmunya bermanfaat seperti beliau. Amin.
Nah Sahabat UNISIA, demikianlah sejarah singkat mazhab Asya’irah dan imamnya yang terkenal, Imam al-Asy’ari. Semoga bermanfaat ya..!